Nekat. Itu satu kata yang tepat untuk menggambarkan bagaimana keputusan saya ketika memilih menjadi guru pendamping bagi ketiga anak didik yang akan mengikuti 10th High School Moot Court Competition ( 10th HSMCC), 4-6 November 2016. Pasalnya, kompetisi yang diadakan setiap tahun oleh Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan itu menuntut saya mempelajari hal-hal baru ini secara cepat: International Humanitarian Law (IHL), International Criminal Law, Rome Statute, dan aturan-aturan lain terkait IHL. Belum lagi harus mempelajari kasus fiktif ‘Prosecutor vs En Sabah Nuur’ sebagai bekal untuk membuat Memorial of Prosecutor dan Memorial of Defendant.
Ok, saya menganggap semua hal tersebut sebagai tantangan yang harus dihadapi dan ditaklukkan. Pasalnya, kompetisi ini sangat istimewa karena satu-satunya kompetisi mootcourt untuk murid SMA dengan model International Criminal Court. Karena ini kompetisi istimewa, maka anak didik saya yang menjadi pesertanya juga istimewa. Satu di antara keistimewaan mereka adalah kemampuan Bahasa Inggris mereka yang jauh lebih baik daripada saya.
Dengan niat untuk membantu anak didik saya belajar dan mengembangkan potensi mereka, saya akhirnya berusaha untuk mendampingi semampu saya. Dengan berbekal instinct sebagai sarjana hukum dan pengalaman mendampingi kompetisi yang sama di tahun sebelumnya, saya berusaha membantu mereka mempersiapkan diri di sela-sela kesibukan mengajar.
Oh ya, siapa saja anak didik saya yang terpilih untuk menjadi tim dalam kompetisi mootcourt tersebut? Setelah meminta rekomendasi dari Guru Bahasa Inggris Kelas XI dan XII, akhirnya saya memutuskan untuk memilih tiga anak, yaitu satu anak kelas XII dan dua anak kelas XI. Mereka adalah Raushan Aljufri (first counsel), Deidra Cambaliza (second counsel), dan Alexa Noorfatimah Satryo (researcher) Saya sengaja membuat komposisi satu tim seperti itu agar adik kelas bisa belajar dari kakak kelasnya yang notabene memang hebat speaking skillnya.
Inilah perjalanan yang saya lalui bersama mereka yang tergabung dalam tim HSM 5. Perasaan saya ketika melaluinya campur aduk. Ada senang, capek, bingung, khawatir. Namun semuanya berakhir membahagiakan dan membanggakan ^^
Memorials yang Membuat Bingung
Tahap pertama yang harus dilalui adalah menyusun memorials, baik Memorial of Prosecutor dan Memorial of Defendant. Sebelum itu dilakukan, perlu dipahami dulu kasus yang diberikan, yaitu Prosecutor vs En Sabah Nuur. Dalam kasus tersebut, terdapat sekitar dua puluh fakta yang juga dilengkapi dengan dakwaan (count) yang harus dijatuhkan kepada terdakwanya. Setelah membaca kasus, ternyata ada dua hal yang harus dibuktikan oleh prosecutor, yaitu apakah terdakwa terlibat dua kejahatan, yaitu war crimes attacking protected object dengan pertanggungjawaban individu dan war crimes attacking civilian population dengan pertanggungjawaban komando. Sebaliknya, defendant harus menyanggah kalau tidak terlibat dua kejahatan tersebut.
Sepintas, membuat memorials terlihat mudah karena tinggal membuktikan apakah unsur-unsur pasal dalam dua kejahatan tersebut terpenuhi atau tidak. Masukkan elements of crime pasal-pasal Rome Statute yang berhubungan dengan dua kejahatan tadi, kemudian kaitkan dengan fakta-fakta yang ada. Tetapi ada yang membuat saya dan anak-anak bingung. Bagaimana caranya agar memorials yang dibuat lebih kaya dengan peraturan lain dan kasus-kasus sebelumnya? Walaupun diliputi kebingungan, memorials tetap berusaha disusun dengan baik dalam waktu yang cukup lama, dari awal September hingga pertengahan Oktober. Sebenarnya saya merasa agak bersalah karena kurang maksimal melakukan final checking. Masih ada dua dasar hukum yang salah tulis dan beberapa kalimat yang sebenarnya bisa diperbaiki.
It’s ok. Saya sangat menghargai upaya anak-anak dalam menyusun memorials di sela-sela kesibukan sekolah mereka. Buat saya, sekelas anak SMA sudah sangat bagus bisa melakukan hal itu. Satu hal lagi, saya bangga karena memorials yang disusun benar-benar hasil kerja satu tim.
Latihan Oral Presentation yang Sederhana
Awalnya, saya menargetkan paling tidak ada empat sesi latihan oral presentationI setelah memorials selesai disusun. Namun hanya terealisasi dua kali dan berlangsung sederhana. Saya hanya menyusun pertanyaan-pertanyaan dari memorials berdasarkan apa yang saya pahami. Setelah itu saya berusaha menginterrupt anak didik saya yang menjadi first counsel dan second counsel ketika mereka sedang mempresentasikan memorialsnya. Walaupun berlangsung sederhana, paling tidak anak didik saya mengetahui gambaran situasi ketika kompetisi nanti. Saya mengatakan kepada mereka bahwa harus siap menghadapi dua hal ketika oral presentation: diinterupsi hakim ketika presentasi dan kemudian diberikan pertanyaan yang ‘muter-muter’.
Gagal Technical Meeting Karena Demo 411
Awalnya, saya sudah mengajak anak-anak untuk mengikuti technical meeting di UPH pada tanggal 4 November 2016. Namun anak-anak kelas XI mendadak tidak bisa ikut karena ada kegiatan sekolah yang harus diselesaikan. Tinggal saya dan anak kelas XII yang bisa ikut. Ketika itu, saya ragu untuk datang ke UPH. Situasi tidak menentu karena demonstrasi besar-besaran di Jakarta. Akhirnya saya putuskan untuk tidak menghadiri technical meeting untuk memperkecil risiko. Lagipula panitia sudah memutuskan bahwa menghadiri technical meeting adalah pilihan bukan kewajiban. Untungnya, panitia mengirimkan jadwal kompetisi dan memorials lawan sehingga anak-anak bisa mempersiapkan diri di Jumat malamnya.
Clear Holder: Ada dan Perlu
Saya berusaha mempersiapkan berkas-berkas yang diperlukan ketika kompetisi dalam dua buah clear holder, yaitu untuk first counsel dan second counsel. Yang saya persiapkan juga sederhana: statement of facts Prosecutor vs En Sabah Nuur, beberapa pasal dalam Rome Statute dan Customary Law of IHL, dan memorials. Khusus second counsel ditambah dengan speech yang merupakan rangkuman dari memorials. First counsel lebih nyaman membuat sendiri poin-poin ketika oral presentation sehingga tidak perlu ada speech yang dimasukkan ke clear holdernya. Satu di antara kunci keberhasilan mooting adalah kerapian dan keteraturan berkas sehingga clear holder dan isinya sangat perlu dibawa.
Hari H Lomba: All Out!
Ketika hari H lomba, saya bukan lagi mooting coach. Saya telah berubah menjadi spiritual coach. Saya lebih banyak mendukung dan mendoakan anak-anak saja. Memberikan feedback ke anak-anak juga seperlunya karena pada setiap babak judges juga memberikan feedback yang lebih komprehensif.
Saya melihat sendiri, anak-anak benar-benar mengeluarkan semua potensi yang mereka miliki. Mereka belajar dari babak demi babak, terutama ketika preliminary round yang dijalani sebanyak dua kali. Mereka memperhatikan sekali feedback dari judges dan berusaha memperbaiki penampilan mereka pada babak selanjutnya. Sebelum tampil, mereka juga meriset sendiri hal-hal yang menguatkan argumen mereka. Ketika itu, saya percaya sepenuhnya bahwa anak-anak bisa tampil maksimal.
Upaya yang dilakukan dan doa yang dilantunkan akhirnya membuahkan hasil. Anak-anak berhasil melaju hingga ke babak final! Satu pencapaian yang lebih baik dari tahun lalu. Ya, walaupun ketika semifinal saya sempat deg-degan karena ketahuan ada dasar hukum yang salah tulis di memorial, akhirnya dengan berbagai pertimbangan, judges memutuskan anak-anak didik saya yang berhak tampil di babak final. Setelah berusaha yang terbaik di babak final, akhirnya mereka berhasil menjadi 1st Runner Up. Daan, first counsel tim HSM 5 berhasil meraih Best Oralist. Great!
Di balik semua keberhasilan yang telah diraih, ada satu hal yang menjadi bahan renungan saya: Finally, each of us will face The Most Just of Judges in the hereafter. Have we prepared?
*pernah ditulis di http://www.hukumpedia.com/novayunov/cerita-hsm-5-awalnya-kebingungan-akhirnya-jadi-runner-up
Slideshow ini membutuhkan JavaScript.